Judul Penelitian:
An Empirical Analysis of Inflationary Impacts on Profitability
and Value of Selected Manufacturing Firms in Nigeria
and Value of Selected Manufacturing Firms in Nigeria
Nama Peneliti:
1. Nnado Ifeanyi (Department of Accountancy, Enugu State University of Science and Technology, Enugu, Nigeria)
2. Ugwu Chukwuma (Department of Accountancy, Federal University, Wukari, Taraba State, Nigeria)
Research Journal of Finance and Accounting
www.iiste.org
ISSN 2222-1697 (Paper) ISSN 2222-2847 (Online)
Vol.7, No.12, 2016
ISSN 2222-1697 (Paper) ISSN 2222-2847 (Online)
Vol.7, No.12, 2016
ABSTRAKSI
Penelitian ini menelaah tentang
hubungan antara inflasi dan kinerja perusahaan sektor manufaktur di negara berkembang,
Nigeria. Penelitian ini juga menelaah tentang hubungan antara inflasi dengan
tingkat profitabilitas perusahaan yang dapat dilihat dari Return On Asset nilai tambah ekonomi yang tercipta. Penelitian ini
menggunakan data sekunder yang diperoleh dari sampel-sampel laporan keuangan
perusahaan yang telah di audit. Penelitian ini dianalisis menggunakan metode
regresi berganda dan analisis varians (ANOVA). Hasil penelitian ini
mengindikasikan adanya hubungan negatif yang kuat antara inflasi dan kinerja
perusahaan, serta hubungan negatif yang rendah antara inflasi dengan Return On Asset yang mewakili tingkat
keuntungan perusahaan. Lebih jauh lagi, didapat hubungan antara Return On Asset dengan nilai tambah
ekonomi yang tidak signifikan. Inflasi, bahkan dalam tingkat yang rendah, dapat
menurunkan nilai dan kinerja perusahaan. Penelitian ini juga
menyoroti fakta bahwa kegagalan bisnis lebih banyak disebabkan oleh investasi
pada pembelian aset tetap yang tidak tepat, hal ini dapat terdeteksi dengan
mudah oleh tingkat inflasi pada biaya yang diinvestasikan untuk memperoleh aset
tersebut. Oleh karena itu, pihak manajemen sebuah perusahaan harus mampu meyikapi dengan bijak investasi yang dilakukan.
LATAR BELAKANG
Untuk mengetahui pengaruh inflasi
terhadap kinerja perusahaan, maka kita harus kembali ke awal abad 20 saat para
akuntan di USA dan UK pertama kali mengamati dan membahas tentang pengaruh
inflasi terhadap kinerja keuangan perusahaan. Kemudian, mereka memperkenalkan
Teori Indeks Angka dan gagasan tentang kemampuan daya beli. Lebih jauh lagi,
saat terjadi resesi besar (The Great Depression) pada tahun 1930-an banyak
negara yang mengadopsi prinsip akuntansi inflasi pada laporan keuangan untuk
merefleksikan angka-angka yang terdistorsi (berubah). Menurut Konchitchki (2011),
inflasi adalah kenaikan harga atau ketidakseimbangan yang mengekspresikan usaha
untuk menjaga kemampuan daya beli atas kenaikan harga yang terjadi, kenaikan
harga tersebut akan berpengaruh terhadap biaya, pendapatan, aset, dan kewajiban
perusahaan.
Dalam memandang biaya dan
pendapatan, Spyrou (2004) menegaskan bahwa biaya dan pendapatan yang naik akan
mempengaruhi tingkat keuntungan, kenaikan-kenaikan ini secara otomatis juga
akan menaikan hal-hal lainnya, seperti modal perusahaan dan permintaan akan
naiknya tingkat upah para pegawai. Sedangkan, dalam hal nilai aset perusahaan
dan kewajiban, perusahaan akan kehilangan kreditur dan meningkatnya debitur di
sektor riil. Dari sisi aset tetap seperti tanah dan bangunan, secara moneter
nilainya akan meningkat, meskipun kondisi nyata fisiknya tidak berubah. Hal ini
terjadi, karena kenaikan harga diikuti oleh penurunan nilai uang (vallue of
money). Demikian pula, Mclntyre (1982) dan Warr (2005) yang menyatakan bahwa
laporan keuangan disusun berdasarkan kejadian di masa lalu yang mencerminkan
keadaan perusahaan. Informasi akuntansi ini bermanfaat bagi pihak manajemen,
shareholders, creditors, analis keuangan dan masyarakat agar memperoleh
gambaran yang tepat untuk mendukung dalam pengambilan keputusan.
Selain itu, ketiadaan standar
lokal yang relevan di Nigeria terhadap inflasi dan perubahan harga membuat
Nigeria mengadposi standar-standar yang berlaku secara Internasional. Meski
demikian, studi yang dilakukan berdasarkan perusahaan-perusahaan multinasional
di Nigeria. Penelitian ini sangat penting, karena menekankan pada pembahasan
makro-ekonomi pada inflasi. Selain itu, penelitian ini juga menekankan pada
dampak inflasi dari sisi mikro-ekonomi.
RUMUSAN MASALAH
Warr (2005) mengamati nilai
tambah ekonomi dihitung menggunakan informasi yang didapat dari biaya historis
berkaitan dengan inflasi yang dapat mengubah informasi dan kriteria
pengukurannya. Perubahan nilai tambah ekonomi tersebut, dapat dilihat dari 3
faktor, yaitu the operating profit, the cost of capital (WACC), dan capital base. Perubahan-perubahan
tersebut dapat menimbulkan investasi yang tidak efisien. Sebelumnya, Berliner
(1993) menyatakan bahwa prinsip biaya historis, yang digunakan pada akuntansi
tradisional, tidak memadai dalam mengukur kenaikan-kenaikan harga. Masalah yang
terjadi pada metode ini adalah harga jualyang digunakan merupakan harga yang
diperoleh untuk memperoleh aset pertama kali, sehingga tidak mencerminkan nilai
saat ini.
Beberapa hal dapat menjelaskan
tentang pengaruh negatif dari inflasi terhadap kinerja perusahaan, yaitu
peningkatan inflasi menyebabkan penurunan tingkat pendapatan di masa depan dan
berkolerasi positif dengan resiko aversi dan tingkat potongan harga. Penelitian
ini juga ingin mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh inflasi yang dilihat dari
indeks harga konsumen (IHK) terhadap Return On Asset dan kinerja
perusahaan-perusahaan di Nigeria.
OBJEK PENELITIAN
Penelitian ini berfokus pada dampak
dari inflasi terhadap kinerja perusahaan, terutama untuk:
1. Menguji hubungan antara inflasi
dan kinerja perusahaan manufaktur di Nigeria.
2. Menguji hubungan antara inflasi
dan tingkat profitabilitas perusahaan manufaktur di Nigeria.
3. Menguji jika kenaikan tingkat
keuntungan pada masa inflasi di banyak perusahaan manufaktur Nigeria
berkontribusi pada real economic value added (real EVA).
PERTIMBANGAN KONSEPTUAL
Dalam ilmu ekonomi, uang
digunakan sebagai media pertukaran dan alat ukur terhadap barang atau jasa.
Jumlah barang atau jasa yang dapat diperoleh dalam proses pertukaran mencerminkan
daya beli uang. Kenaikan harga dari barang atau jasa disebut inflasi, yang
menurunkan kemampuan daya beli suatu nilai mata uang (Muthama, Mbaluka &
Kalunda, 2013). Hal ini menandakan kenaikan harga-harga di level konsumen, dan
menurunnya daya beli suatu mata uang, jadi inflasi menyebabkan harga-harga
menjadi lebih mahal. HelmKamp, Imdieke, dan Smith (1986) serta Khan dan Jain
(2004) menyatakan bahwa tingkat harga umum adalah rata-rata harga dari suatu
barang dan jasa. Harga dapat berubah baik hanya untuk spesifik barang/jasa
tertentu, atau keseluruhan barang/jasa.
Akuntansi inflasi terbagi menjadi
dua prinsip. Pertama, IFRS (2004) menjelaskan ini adalah prosedur pelaporan
keuangan yang kompleks untuk mencatat inflasi berdasarkan kebenaran yang
mengacu pada pernyataan akuntansi yang tetap. Pernyataan ini digunakan oleh
perusahaan dalam pelaporan keuangan pada akhir tahun. Tidak hanya mencatat dan
mengamati permasalahan inflasi yang terjadi, akuntansi inflasi menawarkan
sesuatu yang lebih luas lagi untuk memecahkan permasalahan-permasalahan
tersebut, seperti inflasi merayap (creeping inflation), inflasi berjalan
(walking inflation), inflasi cepat (running inflation), dan inflasi tinggi
(hyperinflation).
STUDI EMPIRIS
Ochieng dan Kinyua (2013)
melakukan investigasi antara hubungan inflasi dengan deviden yang harus dibayar
oleh perusahaan. Mereka juga menghitung hubungan antara nilai tukar, suku bunga
obligasi jangka pendek, dan deviden yang dibayarkan. Hasil studi menunjukan
bahwa inflasi tidak memberikan dapak signifikan terhadap deviden yang harus
dibayarkan.
Umaru dan Zubairu (2012) menelaah
pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi Nigeria dengan menggunakan time
series data dari Central Bank of Nigeria (CBN) periode 1970-2010. Hasil studi
menunjukan bahwa terdapat hubungan positif antara inflasi dan GDP.
Konchitchki (2011) menelaah
antara inflasi dan laporan keuangan dengan kinerja perusahaan dan harga saham.
Ia menggunakan teknik analisis untuk mengobservasi unit moneter pada akuntansi
keuangan melalui ketabilan mata uang termasuk selama periode inflasi rendah (low inflation) atau deflasi. Ia
meyimpulkan bahwa meskipun inflasi tidak berdampak secara nominal pada laporan
keuangan, tetapi inflasi tetap menghasilkan konsekuensi secara ekonomi. Lebih
jauh lagi, ia berpendapat bahwa inflasi dapat digunakan untuk memprediksi
keuntungan atau kerugian arus kas di masa depan. Ia juga menemukan pengembalian
(returns) yang abnormal dari strategi
trading yang memanfaatkan inflasi.
Informasi tambahan yang sangat berharga untuk mencermati dampak inflasi adalah
dengan membedakan antara unit moneter dan non-moneter. Jadi, meskipun inflasi
tidak dicatat secara langsung pada laporan keuangan perusahaan, tetapi inflasi
memiliki konsekuensi secara ekonomi, walaupun inflasi yang terjadi sangat
rendah.
Jubaedah dan AbdulRazak (2016)
juga meneliti tentang struktur dan faktor makro-ekonomi global pada laporan
keuangan perusahaan terhadap variabel-variabel independen (laporan keuangan,
struktur modal, inflasi, dan nilai tukar). Penelitian menggunakan analisis
regresi dengan data sekunder yang diperoleh dari Bursa Efek Indonesia, yaitu
laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang telah diaudit.
LANDASAN TEORI
Merujuk pada teori klasik Adam
Smith, Gokal dan Hanif (2004) berpendapat bahwa tingkat pertumbuhan semakin
kuat dengan sendirinya seiring dengan laju pendapatan yang terus meningkat. Dia
juga berpendapat bahwa simpanan (saving) diperlukan sebagai sarana investasi
untuk menjaga tingkat pertumbuhan. Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa
distribusi pendapatan sebagai salah satu faktor terpenting untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Lalu, dia juga mengemukakan bahwa keuntungan
yang menurun bukan disebabkan oleh tingkat produktivitas yang rendah, tetapi
karena persaingan memperebutkan pasar tenaga kerja, sehingga upah menjadi tinggi
(cost-push inflation). Teori selanjutnya adalah teori peredaran uang yang
identik dengan hubungan antara pendapatan nasional yang dihasilkan dengan
jumlah uang beredar. Berdasarkan teori ini, terdapat hubungan positif antara
tingkat harga dengan penawaran terhadap uang. Saat jumlah uang yang beredar
meningkat, maka tingkat harga-harga pun ikut meningkat. Jadi, menurut teori ini
inflasi terjadi akibat dari bertambahnya jumlah uang beredar untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi, sementara produktifitas tetap, sehingga terjadilah kenaikan
harga-harga.
Sedangkan berlawanan dengan teori
Adam Smith, teori Keynesian menyatakan bahwa kenaikan harga secara umum atau
inflasi disebabkan oleh meningkatnya permintaan di pasar yang melebihi
penawaran (ketersediaan barang) yang tersedia. Kondisi full employement dalam ekonomi terjadi apabila kenaikan pengeluaran
pemerintah (G), kenaikan tingkat konsumsi (C), dan kenaikan tingkat investasi
(I) menyebabkan peningkatan pada tingkat permintaan di pasar, sehingga terjadi
inflasi (demand-push inflation).
Sementara itu, teori moneter menyatakan bahwa peningkatan jumlah uang beredar
yang disebabkan meningkatnya produktivitas dan tingkat tenaga kerja orang akan
menyebabkan inflasi terjadi di dalam ekonomi. Para ahli moneter percaya bahwa
kenaikan jumlah uang beredar akan berdampak pada kenaikan produktivitas dan
tingkat tenaga kerja dalam jangka pendek, tetapi bukan dalam jangka panjang.
Jadi, terjadi hubungan positif antara jumlah uang beredar dan inflasi.
Sebaliknya, secara struktur
ekonom, inflasi terjadi akibat inelastisitas pada struktur ekonomi sebuah
negara. Teori ini banyak terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Nigeria.
Teori ini terjadi terutama pada negara-negara berkembang di Amerika Latin, bahwa
tingkat inflasi disebakan oleh inelastisitas yang meliputi: kapasitas produksi,
tingkat permodalan, kerangka institusi (regulasi), inelastisitas di sektor
pertanian, dan inelastisitas pada tingkat tenaga kerja. Merujuk pada teori
tersebut, maka penelitian ini akan lebih tepat apabila menggunakan independen
variabel untuk memastikan kondisi kinerja dan tingkat profit perusahaan. Salah satu
hal terpenting untuk melihat tingkat profitabilitas pada perusahaan adalah
dengan melihat tingkat keuntungan bersih sebenarnya (real net worth). Perusahaan-perusahaan besar banyak
menginvestasikan dana mereka pada aset tetap merujuk pada kepastian tingkat
pengembalian dan resiko yang rendah. Hal sebagai upaya perusahaan untuk melawan
dari dampak inflasi, karena salah satu cara melawan inflasi adalah dengan
melakukan investasi. Merujuk pada hal tersebut, banyak kegagalan bisnis terjadi
pada perusahaan karena manajemen yang keliru dalam berinvestasi pada aset
tetap, terutama terjadi pada perusahaan yang berada di negara berkembang yang
tingkat infrasturkturnya masih kurang baik. Lebih jauh lagi, inelastisitas pada
struktur ekonomi negara-negara berkembang seperti Nigeria adalah karena
birokrasi yang rumit dan permasalahan lainnya, seperti tingkat pengangguran,
produktivitas, institusi (infrastruktur non-fisik), dan infrastruktur fisik.
METODOLOGI
Sebagai objek, penelitian
menggunakan kuantitatif panel untuk menganalisa data yang berasal dari
perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Nigeria (Nigerian
Stock Exchange). Data penelitian selanjutnya berasal dari rentang waktu 12
tahun, yaitu 2003 sampai 2014 yang telah diobservasi sebanyak 439 kali. Nilai Tambah
Ekonomi (Economic Value Added) yang
selaras dengan inflasi berasal dari sampel 38 perusahaan manufaktur dengan
rentang waktu yang sama. Nilai perusahaan dihitung dari pendiskontoan nilai
sekarang dari arus kas di masa depan terhadap resiko.
KESIMPULAN
Secara empiris, penelitian ini
ingin memastikan pengaruh inflasi terhadap nilai/kinerja perusahaan dan
profitabilitas perusahaan. Hasilnya terdapat hubungan negatif antara inflasi
dengan kinerja perusahaan, serta hubungan yang tidak signifikan antara inflasi,
nilai tambah ekonomi, dan tingkat profitabilitas. Perusahaan harus
berinvestasi, terutama membeli aset tetap sebagai aset perusahaan sebagai upaya
untuk menghadapi dampak inflasi. Positif inflasi (inflasi merayap dan inflasi
berjalan) dapat berdampak terhadap kelanjutan dan pertumbuhan perusahaan. Oleh karena
itu, untuk mengelola aset secara efektif dan efisien dibutuhkan keterampilan teknik
akuntansi inflasi, seperti revaluasi aset, akuntansi daya beli terkini,
dan/atau akuntansi biaya terkini. Lebih jauh lagi, inflasi berdampak pada
kinerja keuangan perusahaan, sehingga dibutuhkan penyesuaian terhadap nilai
aset-aset perusahaan agar tidak dicatat kurang dari nilai wajarnya atau
melebihi nilai wajarnya.
Untuk menarik perhatian para
investor, pihak manajemen perusahaan dapat menggunakan teknik revaluasi
terhadap aset-aset perusahaan untuk menyesuaikan nilai wajarnya agar menunjukan
kinerja perusahaan yang sesungguhnya. Perusahaan juga harus memformulasikan
strategi yang lebih baik terhadap persediaan mereka sebagai kunci untuk
mengurangi dampak dari inflasi, serta berunding dengan pihak perbankan dan
institusi keuangan dalam hal pengelolaan pembelian modal untuk menstabilkan kemampuan
operasional perusahaan. Inflasi telah melahirkan inovasi dan perkembangan di
pasar keuangan, yaitu suku bunga yang fleksibel (mudah disesuaikan). Hal
ini membuat para pemilik modal (investor) harus mampu membaca strategi dan
kebijakan perusahaan, terutama dari segi kinerja keuangan perusahaan agar tepat
dalam melakukan investasi.
REFERENSI